Saturday, 26 December 2015

ARSITEKTUR TRADISIONAL RUMAH ACEH

http://cdn.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2014/11/27/465033/670x335/desain-artistik-rumoh-aceh-tahan-segala-bencana.jpgSEJARAH RUMOH ACEH
Aceh, 01 Desember 2015.
Oleh: IMAN SAPUTRA / 120160029 / Pelestarian dan Perawatan Bangunan.
            Rumah Aceh atau Rumoh Aceh merupakan bentuk tempat kediaman orang Aceh tempo dulu dan sekarang hampir hilang, hanya tersisa di beberapa tempat saja di Aceh. rumah ini telah diabadikan di Banda Aceh ( komplek Kantor Museum Aceh) dan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) serta Rumah Cut Nyak Dhien yang ada di Desa Lampisang, 10 km dari pusat Kota Banda Aceh. Di dalam Rumah Aceh yang terletak di komplek Museum Aceh banyak terdapat barang-barang peninggalan tempo dulu yang sering digunakan oleh orang Aceh diantaranya pedeung on jok, jingki, guci,Berandam atau Tempat menyimpan padi dll. Jika anda ke Banda Aceh jangan lupa untuk datang mengunjungi dan saksikan keadaan rumah Adat Aceh tempo dulu. Rumah Aceh ini terdiri dari 44 tiang dan mempunyai 2 tangga depan dan belakang.
Asal-Usul
            Kepercayaan individu atau masyarakat yang hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah, yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi, Nanggrou Aceh Darussalam. Pada umumnya Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50 – 3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seramoe likot atau serambi belakang dan seramoe reunyeun atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumah yang selalu berada di sebelah timur. Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan. Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam.
Bentuk Rumah Aceh
            Rumoh Aceh berbentuk persegi panjang, dan letaknya memanjang dari timur ke barat.   Luas lantai bangunan ini lebih dari 200 m2 dengan tinggi atap pada bagian rabung lebih kurang 8 m. Tampilan luar rumah biasanya berwarna hitam pekat diselingi ornament berwarna cerah khas Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan.
            Tiang Rumoh Aceh terbuat dari jenis kayu keras pilihan yang rata-rata berdiameter lebih kurang 20 cm, dan berjumlah 44 buah tegak berjajar dalam posisi 4 x 11 memanjang dari Timur ke Barat. Penempatan tangga dengan jumlah anak tangga genap masing-masing 14 buah, di ujung Timur bawah “seuramoe keue” dan di ujung Barat bawah “seuramoe likot”, berkesan tidak biasa.
            Jajaran tiang-tiang Penyangga Rumoh Aceh Dalam masyarakat Aceh tidak dikenal adanya istilah rumah adat. Fungsi masing-masing ruangan ini ditata agar sedapat mungkin menggambarkan fungsi pokok-pokok ruangan pada rumah tempat tinggal tradisional masyarakat Aceh.
            Untuk memasuki Rumoh Aceh, pertama-tama harus melewati “reunyeun” (tangga). Dengan menaiki “reunyeun” dan melalui pintu depan sampailah di “seuramoe keue” (serambi depan).Salah Satu Reunyeun yang terdapat di Rumoh Aceh “Seramoe keue” (serambi depan) adalah ruang tamu yang terbentang sepanjang rumah. Ruang ini dipakai untuk menerima tamu, menjalankan kegiatan agama dan sebagai tempat musyawarah keluarga.
            Bagian ujung Barat ruangan ini ditutup dengan tikar, dan pada upacara yang sifatnya khidmat, pada bagian ini dihamparkan permadani tempat dimana untuk setiap tamu disediakan “tika duek” (tikar duduk) masing-masing, berbentuk persegi empat yang dianyam dan dihiasi dengan indah.

Bagian-Bagian dari Rumoh Aceh
            Pada bagian bawah rumah disebut yubmoh yang dapat dipergunakan untuk menyimpan berbagai macam benda, seperti Jeungki (alat penumbuk padi) berandang (tempat menyimpan padi) dan juga difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak dan juga sering digunakan tempat ayunan anak-anak bayi. Pada kolong didapati beberapa deretan tiang-tiang rumah yang sejajar dan timur ke barat, yang terdini dan empat buab deretan, yaitu deretan depan (banja keu), deretan tengah depan (banja teungoh likoet) dan deretan belakang (banjo likoel). Di a9tara deretan tengah depan dan deretan tengah belakang terdapat tiang raja dan tiang putri. Jarak antara satu tiang dengan tiang yang lain selalu sama yaitu sekitar 2,5 meter. Rurnoh Ace/i merupakan komponen-komponen penting dan unsur fisik yang mencerminkan kesatuan sakral dan kesatuan sosial yang berarti menunjukkan bahwa bidang arsitektur telah lama berkembang di Aceh.

             Ruangan depan atau disebut dengan seramoe Keu (serambi depan), ruangan ini polos tanpa kamar yang berfunsi sebagai ruang tamu laki-laki, ruang belajar mengaji anak laki-laki pada malam atau siang hari juga tempat tidur tamu laki-laki. dan disaat-saat tertentu seperti upacara perkawinan ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat jamuan makan bersama.
            Ruangan tengah atau seuramoe teungoh ini bagian inti dari rumoh Aceh dan sedikit lebih tinggi dari seramoe keu ini disebut rumoh inong (rumah induk) dan tempat ini dianggap suci karena bersifat sangat pribadi. Diruangan tengah ini terdapat dua bilik atau kamar yang berhadapan. Kedua kamar ini untuk tempat tidur kepala keluarga atau pemilik rumah, bila ada anak perempuan yang baru kawin maka dia akan menempati kamar ini dan orang tua akan pindah ke anjong.
            Ruangan Belakang atau disebut dengan seramoe Likoet (serambi belakang), ruangan ini juga polos tanpa kamar yang berfungsi sebagai ruang tamu perempuan,yang luasnya juga sama dengan seramoe keu ruangan ini untuk kaum perempuan juga digunakan untuk ruang belajar mengaji anak perempuan dan bila tamu yang datang perempuan maka tempat musyawarah ataupun tempat tidur para tamu juga tempat makan bersama untuk orang perempuan jadi di Aceh tamu laki-laki dan perempuan tidak disatukan. Terkadang masih ada penambahan terhadap ruang belakang ini yaitu dengan cara memasang balok toi yang ujung bagian belakangnya lebih panjang 1.5 cm dan pada ukuran biasa. balok ini menghubungkan tiang deretan tengah belakang dengan tiang deretan belakang, bahagian yang ditambah ini disebut tiphik. kcgunaannya scbagai tempat menyimpan kayu api. guci tempat air.
            Untuk memperkuat Rumah Aceh pemasangan ruamah tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan bahan pengikat dari tali ijok, rotan (awe) untuk pengikat atap yang pada umumnya dari dari rumbia dan ada juga yang menggunakan daun kelapa dan didalam rumah selalu dingin dan bila hujan deraspun tidak pernah kedengaran bising. Rumah Aceh sekalipun tidak menggunakan paku dan terbuat dari kayu, namun bisa bertahan hingga ratusan tahun.Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil. Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya.
            Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.Wujud dari arsitektur rumah Aceh kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan regiulitas masyarakat Aceh. Arsitek rumah yang menggunakan kayu bahan dasar dan berbentuk panggung merupakan bentuk adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya. Secara kolektif struktur rumah panggung memberikan nilai positif terhadap sosial dan kenyaman tersendiri bagi penghuninya, selain itu juga menjamin keamanan dari banjir, binatang dan ketertiban juga keselamatan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti rumoh inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila dirumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka (pantang dan tabu) bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.

Di dalam Rumah Aceh Selalu ada beberapa motif hiasan yang dipakai antara lain;
            Motif atau ukiran-ukiran keagamaan yang diambil dari ayat-ayat al-Quran. Motif Flora seperti tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
             Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.
Bagi Masyarakat Aceh membangun rumah artinya membangun kehidupan karena untuk membangun harus memenuhi beberapa persyaratan melalui thapan anatara lain harus menunggu pilihan hari baik yang ditentukan oleh Teuku (ulama setempat), harus peusijuk dengan nasi ketan, pengadaan kayu pilihan, kanduri dan lin sebagainya. Musyawarah dengan keluarga dan bergotong royong dalam proses pembangunan merupakan upaya menumbuhkan solidaritas antara sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengn bekerja sama permaslahan dapat diatasi dan keharmonisan tetap terjaga.maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan dan keteraman jamani dan rohani.



Keunikan Rumah Aceh
            Keunikan rumah Aceh terletap pada atapnya, untuk pengikat tali hitam atau tali ijuk mempunyai yang untuk penahan atap yang diikat tidak bersambung mempunyai kegunaan yang sangat berati, misalnya saat terjadi musibah kebakaran pada bagian atap maka pemilik rumah hanya memotong satu tali saja sehingga seluruh atap rumah yang terhubung atau terpusat pada tali ijok langsung jatuh atau roboh jadi terhindar dari kebakaran kayu dan dapat meminimalisir dampk dari musibah yang terjadi. Pembanguna rumah Aceh harus menghadap utara dan selatan ini dimaksudkan agar sinar cahaya nmatahari mudah masuk kekamar baik yang berada disisi timur ataupun sisi barat, jika ada rumah Aceh yang menghadap kearah barat atau timur maka akan mudah roboh karena menentang arah angin. Namun saat ini, seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien serta semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit.Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
LANTAI  DAN PINTU
Lantai ( alee)
            Alee yang ada dirumah aceh Cut Nyak Dhien menggunakan kayu yang terbuat dari kayu enau. Lantai tersebut juga disokong oleh kayu – kayu yang kuat sebagai struktur peyangga yang bertumpu ke balok – balok tiang. Untuk pemasangan lantai, labih dahulu haru dipasang leger penghubung antara toi dan rok, pada rumah orang aceh kebiaaan, leger ini disebut lhue yang menjadi landasan untuk menempatkan kayu lantai.
Sedang kan alee yang ada di rumoh cut muthia juga menggunakan papan kayu yang terbuat dari kayu enau. Semua orang duduk bersila di atas tika ngom. Untuk pemasangan lantai, lebih dahulu harus dipasang leger penghubung antara toi dan rok.
Tangga ( reunyen)
            Tangga yang berposisi didepan disandarkan pada rok di seuramoe, dengan mengambil posisi ruang tengah. Untuk melindungi tangga ini dari siraman hujan, biasanya perlu dibuat seulasa (semacam kanopi)
            Jumlah anak tangga yang pada rumah aceh pada umumnya yang berjumlah ganjil, yaitu berjumlah 7 tangga. Pada depan anak tangga juga terdapat gentong air yang yang digunakan untuk anak bersuci(wudhu) bagi para penghuni tam. Hal ini diambil karena agama islam menyukai kebersihan.
Bahan-bahan bangunan

·         Kayu adalah bahan utama dari rumah ini, Kayu digunakan untuk membuat tiang penyangga rumah.
·         Papan yang digunakan untuk membuat dinding dan lantai rumah.
·         Bambu atau yang biasa disebut trieng digunakan untuk membuat alas lantai.
·         Temor atau yang biasa disebut enau digunakan sebagai bahan cadangan untuk membuat dinding dan lantai selain bambu.
·         Tali Pengikat atau yang biasa disebut dengan taloe meu-ikat digunakan untuk mengikat bahan-bahan bangunan.
·         Tali pengikat ini terbuat dari bahan rotan, tali ijuk, atau kulit pohon waru.
·         Keenam Daun Rumbia atau yang biasa disebut dengan oen meuria yang digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat atap rumah.
·         Daun Enau digunakan sebagai bahan cadangan untuk membuat atap, apabila daun Rumbia tidak ada.
·         Pelepah Rumbia atau biasa disebut dengan peuleupeuk meuria adalah bahan dasar untuk membuat dinding rumah dan juga lemari.







Cara Pembangunan Rumah
            Pembangunan rumah Krong Bade dilakukan tidak dengan sembarangan. Ada beberapa hal yang dilakukan untuk membangun rumah ini, seperti :

·         Penentuan hari baik, pengadaan kenduri, dan pemilihan kayu. Penentuan hari baik dilaksanakan berdasarkan saran dari seorang pemuka masyarakat. 
·         Pemilihan kayu didasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat yang memandang bahwa ada beberapa jenis kayu yang dapat bertahan lama jika dipakai untuk membangun rumah.
·         Tahap-tahap yang harus dilakukan untuk membangun rumah adalah rapat keluarga, pengumpulan bahan, pengolahan bahan, dan perangkaian bahan.
·         Rapat keluarga juga turun mengambil bagian penting dalam membangun rumah agar tidak terjadi perpecahan dalam rumah.
·         Dalam rapat keluarga diundang seorang pemuka masyarakat untuk memberikan saran-saran yang patut didengarkan oleh keluarga yang hendak membangun rumah.
·         Pengumpulan bahan dilakukan bersama-sama dengan melihat kayu yang baik untuk dijadikan bahan bangunan.
·         Saat penebangan kayu, masyarakat Aceh berusaha untuk tidak merusak akar pohon yang lainnya sehingga sangat berhati-hati dalam penebangan kayu.
·         Pengolahan bahan adaah pengolahan kayu sesuai dengan kebutuhan.
·         Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah kayu-kayu untuk peralatan rumah tangga maupun kayu-kayu untuk pondasi bangunan.
·         Setelah pengolahan kayu, kayu-kayu tersebut dirancang atau digunakan sebagai fungsinya dan ini adalah tahap perangkaian bangunan.
·         Kayu-kayu yang berfungsi sebagai tiang penyangga rumah akan ditancapkan ke tanah terlebih dahulu.
·         Kayu pertama yang ditancapkan dianggap sebagai tiang utama dari rumah Krong Bade.
·         Setelah tahap perangkaian bahan selesai, maka tahap akhir yaitu menghias rumah dengan berbagai ornamen juga ukiran-ukiran pada badan rumah Krong Bade.



Ciri-ciri Khas Rumoh Aceh
Setelah agama Islam masuk dan berkembang dengan pesat hingga seluruh rakyat Aceh memeluknya, maka hampir semua aspek kehidupan kebudayaan dipengaruhi, menyebabkan terkikisnya pengaruh kebudayaan yang telah ada. Sebagai mana lazimnya bangsa lain, bangsa Aceh juga mempunyai seni yang mempunyai ciriciri tersendiri yang tercermin dalam bentuk arsitektur rumah kediaman, yaitu Rumoh Aceh. Rumoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang kayu yang tinggi hal ini erat kaitanya dengan masalah keamanan yaitu memberikan rasa aman kepada penghuninya dan gangguan binatang buas, pencurian, banjir dan sebagainya. Letaknya membujur dan arah Timur ke Barat atau rumah menghadap ke Utara dan ke Selatan yang berguna untuk menentukan arah kiblat. Selain itu juga berkaitan erat dengan masalah bertiupnya angin di daerah Aceh yang bertiup dari arah ‘Timur ke Barat, sehingga jika letak bangunan menghadap kearah angin bertiup maka bangunan akan mudah roboh. Letak yang demikian juga untuk memudahkan masuknya sinar matahari pagi dan sore ke dalam ruangan, sehingga peredaran udara di dalam ruangan mencukupi.
            Bentuknya yang memanjang dengan ruangan yang tidak sama tingginya, di mana bagian tengah lebih tinggi dari bagian depan dan belakang. ini mengandung beberapa makna yang terdapat di dalamnya. Dengan terdapatnya beberapa ruangan ini mempunyai fungsi yang berlainan, sesuai dengan ajaran Islam dan tatacara kehidupan masyarakat Aceh. Letak tangga dan pintu rumah selalu terdapat pada dinding serambi depan, ini menandakan kepribadian suku Aceh yang beradat. Sikap seperti ini tercermin pada pintu masuk rumah letak pintu dengan ukuran yang sempit dan rendah. sehingga orang masuk dan keluar selalu menunduk dan membuat orang rendah diri secara tersirat.
Berdasarkan keadaan ciri-ciri Rumoh Aceh yang disebutkan diatas  maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Rurnoh Aceh mempunyai beberapa keistimewaan antara lain:
1)        Bangunan Rumoh Aceh tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak kayu yang dibuat sedemikian rupa yang disebut babe.
2)        Rumoh Aceh dapat dengan mudah dibongkar jika dipindahkan dan dipasang kembali tanpa mengakibatkan eacat atau rusak.
3)        Meminimalisir bahaya kebakaran, atap rumah dapat diturunkan dalam waktu yang singkat sehingga kerugian yang diderita tidak begitu besar.
4)        Karena Rurnoh Aceh dibangun di atas tiang-tiang yang tinggi maka dapat dipindahkan atau digeser  posisi dan tempatnya.


Ada beberapa pendapat lain yang mengungkapkan tentang keistimewaan dan ciri-ciri Rumoh Aceh antara lain Rumoh Aceh terdiri dari;
1)       Seuramoe keue (serambi muka) yang bertüngsi tempat menerima tamu laki-laki sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan .
2)       Seuramoe likoet (serambi belakang) yang berfungsi tempat menerima tamu wanita dan sekaligus menjadi tempat tidur atau makan.
3)       Rumoeh inoeng (rumah induk) antara seuramoe keue dengan seuramoe inoeng dibagi dua jure (kamar tidur) yang antara kedua dibatasi oleh rambai (gang) yang menghubungkan antara serambi muka dengan serambi belakang.
4)       Rumoeh dapu (kamar dapur) yang terletak berkaitan dengan serambi belakang dan agak rendah.
5)       Seulasa (teras muka) istilah sekarang, yang terletak di depan serambi muka tapi sedikit lebih rendah.
6)       Kroong pade (lumbung padi) yang berdiri terasing dari rumah, tapi masih dalam pekarangan, tempatnya di depan, disamping atau di belakang.
7)       Keupaleh (pintu gerbang yang ada dibilik kecil diatasnya), yang ada keupaleh ini biasanya terdapat di rumah orang-orang besar, orang-orang kaya dan kepala kampung.

Selain di atas, suku Aceh juga memiliki bangunan tradisional yang digunakan sebagai tempat beristirahat pada waktu senggang. Bangunan ini disebut balee (balai). Balee tersebut memiliki fungsi ganda, tidak hanya untuk tempat istirahat, juga berfungsi sebagai gudang tempat menyimpan barangbarang tertentu, seperti halnya tikar dan sebagainya.
            Balee yang terdapat pada Rumoh Aceh biasanya didirikan berdempetan dengan Rumoh Aceh, dan terkadang di depan rumah. ‘l’inggi bangunan mi Iebih rendah daripada Rumoh Ace/i dan tidak berdinding. Balee biasanya digunakan oleh kaum Ibu sebagai tempat duduk-duduk pada waktu  senggang. Selain itu dipergunakan juga sebagai tempat
Menerima tamu yang dekat,  juga berfungsi sebagai tempat menerima tamu yang jauh buat sementara.

Bahan Rumoh Aceh
Bahan untuk membuat rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh), terdiri dari berbagai jenis kayu, biasanya memakai kayu yang berkualitas dan keras. Kayu-kayu itu biasanya jenis kayu yang mempunyai serat halus dan telah cukup tua serta sudah melalui peroses pengawetan  agar tidak mudah rusak, tahan lama dan tidak dimakan rayap, sehingga tahan sampai puluhan bahkan beratus tahun.
 Kayu-kayu tersebut umumnya dipilih yang berukuran panjang lurus dan besar, terutama bahan pembuatan tiang, bara dan dinding rumah. Lantai ruamah biasanya memakai kayu sejenis pohon pinang (pohon nibung) yang telah berumur cukup tua atau dari pohon bambu yang tua. Sedangkan atasnya dari daun rumbia (on meuria) atau daun kelapa yang dijahit tersusun pada sebilah bambu tipis sepanjang kira-kira 1- 2 meter.

Fungsi Rumah Aceh dari Pembagian Ruangnya.

1.     Rumoh Inong, yaitu rumah  induk yang disebut juga  rumoh tunggai, adalah bagian rumah yang letaknya di bagian tengah dan lebih tinggi setengah meter dari serambi depan dan serambi belakang. Rumoh inong itu terdiri atas jurei yang terletak di bagian Barat dan menjadi kamar tidur tuan rumah, dan anjong  yang terletak di bagian Timur dan menjadi kamar tidur bagi anak-anak perempuan
2.     Seuramou Keu (serambi depan), berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan tempat musyawarah. Disini disandarkan sebuah tangga yang biasanya berjumlah  9 atau 7 buah anak tangga. Serambi depan letaknya memanjang sepanjang rumah tanpa ada kamar-kamar. Tangga ditempatkan di bagian tengah rumah sehingga tamu dapat duduk di bagian kiri atau kanan serambi. Jadi serambi depan rumoh Aceh bersifat terbuka, sesuai dengan fungsinya antara lain tempat menerima tamu laki-laki, tempat mengaji dan tempat belajar anak laki-laki (sekaligus tempat tidur mereka), dan untuk keperluan umum..
3.     Seuramou Likot (serambi belakang), yang berfungsi sebagai tempat duduk tamu di  bagian belakang, dipakai juga sebagai gudang. Sebagaimana halnya seuramoe keu, ruangan belakang atau seuramoe likot tidak lagi dibagi menjadi ruangan-ruangn yang lebih kecil. Tetapi ada juga yang membangun seuramoe likot ini sedikit lebih besar dari seuramoe keu dengan cara menambahkan dua buah tiang pada bagian timurnya. Ruang tambahan itu disebut anjong, yang sekali gus berfungsi sebagai dapur.  Pada dinding depan di bawah bara bagian luar biasanya dibuat rak tempat meletakkan barang atau perkakas dapur, yang disebut sandeng(saneung)
4.     Rambat, gang antara dua kamar kiri dan kanan yaitu bagian rumah yang menghubungkan serambi depan dan  serambi belakang.
5.     Atap rumah. Kebanyakan atap rumah Aceh adalah atap dengan rabong atau tampong  satu, terletak di bagian atas ruangan tengah yang memanjang dari ujung kiri ke kanan, sedangkan cucuran atapnya berada di bagian depan dan belakang rumah. Atap rumah Aceh biasanya dibuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah dibelah kecil-kecil, ikatan tersebut namanya mata pijeut. Tulang atap terbuat dari batang bambu yang dibelah-belah. Atap itu tersusun rapat sehingga susunannya rapi dan tebal.
6.     Ciri lain dari rumoh Aceh ialah bahwa biasanya di setiap rumoh Aceh ada keupok padee (lumbung padi) danbalee (balai). Keupok biasanya  terletak di depan, di samping atau di belakang rumah, dan balee sebagai tempat beristirahat di waktu senggang biasanya didirikan di depan atau di samping rumah. Walaupun letaknya terpisah dari rumah, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dengan cirri sebuah rumah Aceh.
            Tiang-tiang rumah Aceh biasanya berjumlah 16, 18, 22, dan 24 buah, dan paling banyak 40 buah, yang berjejer 4 baris, yaitu baris depan, baris tengah depan, baris tengah belakang, dan baris belakang, dengan  jarak masing-masing tiang 2,5 meter. Di antara tiang-tiang rumoh Aceh terdapat dua buah tiang yang disebut tameh raja  (tiang raja) dan tameh putrou  (tiang putri). Kedua tiang itu membatasi kamar tidur dan serambi. Pada bagian sebelah  Utara didirikan tiang raja dan di bagian sebelah Selatan didirikan tiang putri. Pintu rumah Aceh dimana diletakkan tangga terdapat di serambi depan, dengan tinggi pintu 1.8 meter dan lebarnya 0.8 meter. Jendela biasanya dibuat di serambi depan,  serambi belakang, dan di rumoh inong (juree), masing-masing dengan ukuran agak kecil, yaitu tinggi 1 meter dan lebar 0.6 meter.
            Rumah Aceh dibuat dari bahan kayu, dan keistimewaannya ialah bahwa rumah Aceh tidak mempergunakan paku, tetapi memakai tali pengikat (biasanya tali ijuk) sehingga mudah dibongkar apabila diperlukan. Untuk atap dipergunakan daun rumbia yang disusun memanjang sehingga bila ada cucuran air hujan dari atap  akan mengalir dari bagian tengah rumah (peurabong atau dhue) ke bagian kanan dan kiri rumah. Setiap rumah Aceh memiliki sungkup atap menurut lebar rumah apa yang dinamakan “tulak angen” berukir motif tradisonal, dan ada ruang menjorok keluar sebagai tempat menyimpan benda-benda/peralatan tradisonal.
            Adapun tanah untuk mendirikan rumah diutamakan yang terletak di pinggir jalan atau lorong (jurong) yang membujur Timur-Barat, karena kayu-kayu yang dibuat untuk konstruksi rumah letaknya harus menghadap kiblat. Jadi rumah Aceh letaknya selalu membujur Timur-Barat dan menghadap ke Utara atau ke Selatan, sedangkan bangunan mesjid atau meunasah selalu membujur Utara- Selatan dan menghadap ke Barat (arah kiblat).
Rumah tradisional Aceh adalah rumah panggung yang disangga oleh tiang-tiang berbentuk bulat, yang terdiri dari bahan kayu yang cukup tahan usia, atap rumbia dan praktis tidak menggunakan paku. Rumah dikikat dengan “pateng” atau pasak dan ikatan-ikatan dari rotan dan tali ijuk. Rumah tradisional Aceh dalam ukuranyya disebut “reueng”. Ada rumah 3, 5, 7 dan 9 reung. Makan banyak reung makin besar bentuk bangunan. Reueng dimaksud adalah sela antara tiang ketiang. Tiang rumah Aceh bulat dari kayu keras dan jarak dari tiang ketiaang mencapai 4 meter.

Nilai-Nilai
            Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan (religiusitas) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula, struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban gampong.

            Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat. Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh membuat garis imajiner antara rumah dan Ka‘bah (motif keagamaan), tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh. Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitas juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak tangga yang selalu ganjil, dan keberadaan gentong air untuk membasuh kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.

Musyawarah dengan keluarga, meminta saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa solidaritas antar sesama, dan penghormatan kepada adat yang berlaku. Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan ketentraman secara rohani.

Tata ruang rumah dengan beragam jenis fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti Rumoh Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan, seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka ”pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat (baca: muhrim) untuk naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar masyarakat.
            Pintu utama rumah yang tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa, sekitar 120-150 cm, sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk, mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan diterima dengan lapang dada dan hangat.
            Pelaksanaan upacara baik ketika hendak mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan saling menghormati sesama makhluk Tuhan, dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas rizqi yang telah diberikan oleh Tuhan.

Salah Satu Pelestarian Rumoh Aceh

Museum Rumoh Aceh
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXRwl_OwcnyATD2n04ZsRQOAeSWp0WoIcmswFWyh0KFgqdzWaUEfDyCd8EQGDwbCLc-lrJ7P0j1kAldbvMlCtDW8qRwuNQv5nTmmEySM4e2joiwF7oELVQupATpZGODdN-1EEIjvjDNtDt/s320/rumah-tradisional-aceh.png
 Rumoh Adat Atjeh

            Pemerintah Belanda pada tahun 1914 membangun Rumoh Atjeh (Rumah Aceh). Adapun fungsi Rumoh Atjeh tersebut sebagai tempat pameran barang-barang yang berasal dari Aceh dalam Pameran Kolonial (de-koniale tenstoonsteling). Pameran ini dilaksanakan di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 13 s/d 15 Agustus 1915. Setelah selesai pameran, bangunan ini dibongkar dan dibawa kembali ke Kutaradja. Selanjutnya rumoh tersebut dibangun sesuai dengan bentuknya semula dan dijadikan Museum Aceh yang ditempatkan di samping lapangan eksplanade Kutaradja. Masyarakat juga menyebut museum ini dengan nama “Rumoh Aceh”. Museum itu sendiri pemakaiannya diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915.
            Saat ini Museum Negeri Aceh merupakan museum yang dikelola oleh Pemerintah dan sebagai tempat penyimpanan berbagai benda bersejarah, baik dari masa kerajaan hingga masa kemerdekaan. Koleksi yang ada di museum ini antara lain: Stempel Kerajaan Aceh, Replika Makam Malikul Saleh, naskah kuno, Mata Uang Kerajaan Aceh dan lain-lain.
Koleksi penting lain yang berada di museum ini adalah Lonceng Cakra Donya. Mengenai keberadaan Lonceng Cakra Donya terdapat beberapa versi. Salah satunya, berdasarkan angka tahun yang terdapat di bagian atasnya dapat diketahui bahwa Lonceng ini merupakan hadiah dari Kaisar Cina kepada Sultan Aceh dalam rangka mengikat persahabatan. Menurut Kremer dalam bukunya Aceh I bahwa Lonceng Cakra Donya ini telah dibuat dalam tahun 1469. Lonceng ini berukuran lebih kurang 1,25 meter tinggi dan mempunyai lebar 0,75 meter. Pada tanggal 2 Desember 1915 pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari Pohon Ba’glondong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak, sehingga lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang Cina, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhOf5YWJVSW_mviqofhEzh0XRZWNfgwYjXEqzHKZXFb58cTeTXmJwnTG19R5KieI6HyXfRQV2TPt4CaZvgLFW-c56s8X0WPy10nyj9qtYSIz7mFWy5Ic2Njey7j32wRmdD01JFB93Amxa1j/s1600/rumoh-aceh.jpg 
Disinilah lonceng tersebut di tempatkan 
            Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua itu digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Negeri Aceh. Ternyata pada saat lonceng itu dibersihkan pada bagian luarnya terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Cina. Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tunangan-tunangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas. Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya.
Lonceng itu mungkin merupakan lonceng kuil dan telah berkarat seluruhnya, sedangkan emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Huruf-huruf Cina pada lonceng itu berbunyi Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo yang dapat diartikan sebagai berikut  “ Sultan Sing Fa yang telah dituang di dalam 12 dari tahun 5”.
Kepercayaan individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan rumah yang dibuat. Hal ini dapat di lihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Indonesia.

            Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi tiang antara 2,50-3meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang utama yang dinamakan 'rambat'.Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut 'seuramoe likoet' atau serambi belakang dan 'seuramoe reunyeun' atau serambi bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur. Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120-150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk kita akan merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam Rumoh tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam.


            Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukkan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Seiring perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan pengadaan bahannya lebih mudah dari pada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah beton mereka. Keberadaan Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004 lalu. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.

Kesimpulan
Dengan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita mampu menghargai dan memahami beragam khazanah yang tersirat didalamnya. Bisa saja seiring berkembangnya zaman Arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan memahami dan memberikan pemaknaan yang baru terhadap simbol-simbol yang digunakan maka  nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu dapat tersampaikan kepada anak cucu kita dimasa mendatang.
Walaupun ketidak mampuan kita untuk membangun Rumoh Aceh seperti sedia kala dulu , Setidaknya kita bisa melestarikan pusaka Nanggroe ini,dan menjadi hak atas masyarakat Indonesia khususnya rakyat Aceh. Sedikitnya kita dapat memahami dan mengambil hikmah dari pesan-pesan yang terkandung didalamnya dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber:
- Rumoh Adat Aceh
- Penerapan Nilai-nilai Rumah Adat
- Pengenalan Rumoh Aceh

No comments: